Debu-debu keemasan menari-nari dalam cahaya senja yang masuk melalui jendela besar Kedai Kopi Tua. Kedai itu, seperti namanya, memang sudah tua. Kursi-kursi kayunya berderit, meja-mejanya penuh ukiran usang, dan dindingnya dicat dengan warna kopi yang sudah memudar. Namun, di balik semua itu, kedai ini bernyawa. Ia menyimpan kenangan, bisikan-bisikan rindu, dan aroma kopi yang pahit manis seperti kehidupan itu sendiri.
Di salah satu sudut, duduklah seorang pria tua bernama Pak Surya. Rambutnya memutih, wajahnya dipenuhi kerutan yang menceritakan kisah panjang, dan matanya yang teduh menyimpan kebijaksanaan. Ia selalu menghabiskan senjanya di kedai itu, memesan kopi hitam tanpa gula, dan menatap jalanan yang ramai di luar.
Hari ini, seorang wanita muda bernama Maya masuk ke kedai. Ia tampak lesu, dengan mata merah dan bahu yang merosot. Ia memilih meja di dekat jendela, memesan teh chamomile, dan menenggelamkan dirinya dalam kesunyian.
Pak Surya memperhatikannya. Ia tahu, dari tatapan mata wanita itu, bahwa ada beban yang berat di pundaknya. Dengan hati-hati, ia menghampiri Maya.
“Permisi, Nona,” sapa Pak Surya lembut. “Saya tidak bermaksud mengganggu, tapi saya perhatikan Nona tampak sedang sedih. Boleh saya menemani?”
Maya mengangkat wajahnya, terkejut. Ia menatap pria tua itu dengan ragu, lalu mengangguk pelan.
“Terima kasih, Pak,” jawabnya lirih.
Pak Surya duduk di hadapan Maya. Ia tidak langsung bertanya apa yang membuatnya bersedih. Ia hanya diam, menunggu wanita itu siap untuk bercerita. Keheningan itu nyaman, tidak canggung. Maya merasa ada ketenangan dalam kehadiran pria tua itu.
Akhirnya, Maya mulai bercerita. Ia bercerita tentang pekerjaannya yang berat dan tidak dihargai, tentang hubungannya dengan pacarnya yang sedang bermasalah, dan tentang mimpi-mimpinya yang terasa semakin jauh. Air matanya menetes tanpa bisa dicegah.
Pak Surya mendengarkan dengan sabar. Ia tidak menghakimi, tidak menasihati. Ia hanya mengangguk sesekali, menunjukkan bahwa ia mengerti.
Ketika Maya selesai bercerita, Pak Surya menghela napas pelan. Ia meraih cangkir kopinya dan menyesapnya perlahan.
“Hidup memang seperti kopi, Nona,” ucapnya kemudian. “Kadang pahit, kadang manis. Tapi di balik rasa pahit itu, ada kekuatan yang bisa membuat kita tetap terjaga.”
Ia melanjutkan, “Setiap masalah adalah ujian. Ujian untuk menguji seberapa kuat kita, seberapa besar kita ingin meraih mimpi-mimpi kita. Jangan biarkan masalah itu mengalahkanmu. Bangkitlah, Nona. Tunjukkan pada dunia bahwa kamu lebih kuat dari masalahmu.”
Kata-kata Pak Surya seperti mantra yang menghangatkan hati Maya. Ia merasa ada harapan yang tumbuh kembali di dalam dirinya.
“Terima kasih, Pak,” ucap Maya dengan suara bergetar. “Kata-kata Bapak sangat berarti bagi saya.”
Pak Surya tersenyum. “Tidak perlu berterima kasih, Nona. Saya hanya berbagi pengalaman. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam kesedihan.”
Mereka berdua terdiam, menikmati senja yang semakin meredup. Maya merasakan beban di hatinya sedikit berkurang. Ia merasa tidak sendirian. Ia tahu, di dunia ini, masih ada orang-orang baik yang peduli.
Sejak hari itu, Maya sering mengunjungi Kedai Kopi Tua. Ia selalu menyempatkan diri untuk berbincang dengan Pak Surya. Ia merasa pria tua itu adalah sahabat yang bijaksana, tempat ia bisa mencurahkan segala keluh kesahnya.
Kedai Kopi Tua menjadi saksi bisu persahabatan yang unik antara seorang wanita muda yang sedang mencari jati diri dan seorang pria tua yang telah menemukan makna hidupnya. Di antara aroma kopi dan bisikan senja, mereka saling menguatkan, saling menginspirasi. Mereka membuktikan bahwa usia hanyalah angka, dan persahabatan bisa tumbuh di mana saja, bahkan di kedai kopi tua yang penuh kenangan.