Aroma tanah lembap dan petrichor (bau alami yang tercium saat hujan turun di tanah kering) melekat di udara setelah hujan sore. Maya menyukai hari-hari seperti ini, dunia bersih berseri dan langit berseri-seri dengan warna pastel. Ia duduk di beranda kayu usang, derit ayunan berirama menjadi penyeimbang yang menenangkan bagi suara jangkrik. Namun, tatapannya tertuju pada sosok yang menyirami semak mawar di seberang jalan – Rizal.
Rizal. Namanya adalah bisikan doa, rahasia yang ia simpan rapat-rapat di hatinya. Rizal adalah sosok yang tidak dimilikinya – percaya diri, supel, dengan senyum yang dapat mencairkan es. Ia adalah Maya, gadis pendiam yang tinggal bersama neneknya, lebih nyaman dengan buku daripada dengan orang lain.
Dia telah mengenal Rizal hampir sepanjang hidupnya. Mereka tumbuh di jalan yang sama, masa kecil mereka diselingi dengan lutut yang lecet, berbagi es krim, dan membisikkan rahasia di bawah pohon mangga tua. Dia telah menyaksikannya berubah dari seorang anak laki-laki jangkung menjadi pemuda tampan di seberang jalan. Dan di suatu tempat di sepanjang jalan, persahabatan telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih, setidaknya baginya.
Namun Rizal menganggapnya hanya sebagai teman, bahkan saudara perempuan. Ia akan menceritakan kepadanya tentang mimpinya menjadi pilot, rasa frustrasinya dengan sepeda motornya, dan harapannya untuk menemukan “yang terbaik”. Maya akan mendengarkan, hatinya sakit dengan setiap detail, setiap kali menyebut gadis lain.
Ia mencoba, sungguh-sungguh, untuk menekan perasaan itu, untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa persahabatan sudah cukup. Ia bahkan menawarkan nasihat, berpura-pura menjadi pengamat yang netral, membantunya menyusun pesan teks yang sempurna atau menyarankan tempat kencan yang romantis. Setiap keberhasilan terasa seperti luka kecil yang ditimbulkan sendiri.
Suatu sore, Rizal menghampiri teras rumah. Matahari terbenam mewarnai wajahnya dengan semburat hangat, dan denyut nadi Maya pun semakin cepat. “Maya, aku butuh bantuanmu,” katanya, suaranya dipenuhi dengan antusiasme kekanak-kanakan seperti biasanya. “Aku berencana mengajak Sinta berkencan sungguhan. Ada ide?”
Sinta. Sang pemandu sorak, ratu lebah, mimpi yang tak mungkin tercapai. Maya merasakan sakit yang tak asing di dadanya. Ia menelan ludah dan berusaha tersenyum lemah. “Sinta? Itu… hebat, Rizal. Benar-benar hebat.”
Ia menghabiskan beberapa hari berikutnya untuk membantunya merencanakan kencan yang sempurna. Ia menyarankan kafe yang menawan di pusat kota, bioskop luar ruangan yang menayangkan kisah cinta klasik, bahkan buket bunga liar yang sangat disukai Sinta. Ia mencurahkan seluruh cintanya yang tak terbalas untuk membuat kencan ini sukses, berharap, dengan egois, bahwa mungkin, hanya mungkin, Rizal akan melihat dedikasinya, kasih sayang yang tak terucapkan selama bertahun-tahun.
Malam kencan pun tiba. Maya tak sanggup lagi untuk tetap di dalam rumah. Ia mondar-mandir di beranda, jantungnya berdebar kencang. Ia melihat Rizal pergi, tampak gugup namun tampan, dan ia memperhatikannya saat ia berjalan menuju rumah Sinta. Ia memperhatikannya mengetuk pintu, dan ia melihat Sinta muncul, berseri-seri dan berseri-seri.
Mereka berjalan menjauh, bergandengan tangan, menuju mobil yang menunggu. Dunia Maya tampak mengecil, warna-warna cerah memudar menjadi abu-abu kusam. Kesadaran itu menyelimuti dirinya, tajam dan dingin: Rizal tidak akan pernah melihatnya lebih dari sekadar teman.
Keesokan harinya, Rizal datang menemuinya, wajahnya berseri-seri karena bahagia. “Itu sempurna, Maya! Dia bilang ya untuk kencan kedua!” Dia terus bercerita tentang malam itu, tidak menyadari kepedihan yang terukir di wajah Maya.
Maya tahu saat itu bahwa ia tidak bisa terus hidup seperti ini. Ia perlu menjauhkan diri, menyembuhkan diri, dan menemukan cara untuk melanjutkan hidup. Ia pantas mendapatkan seseorang yang melihatnya, benar-benar melihatnya, gadis pendiam dan kutu buku dengan hati penuh cinta.
“Aku turut senang untukmu, Rizal,” katanya, suaranya nyaris berbisik. “Tapi… kurasa aku butuh waktu untuk diriku sendiri. Aku akan mengunjungi bibiku di Jakarta sebentar.”
Rizal tampak terkejut, lalu pemahaman muncul di matanya. “Oh, oke. Tentu, Maya. Apa pun yang kamu butuhkan.” Dia tampak teralihkan, sudah memikirkan kencan berikutnya dengan Sinta.
Maya mengemasi tasnya, hatinya terasa sakit bercampur getir. Saat menoleh ke rumah di seberang jalan, ia melihat Rizal sedang menyirami semak mawar. Ia tahu, dengan keyakinan yang tertanam dalam di tulang-tulangnya, bahwa ia meninggalkan sebagian dirinya. Namun, ia juga membawa sesuatu bersamanya: harapan bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan seseorang yang akan melihatnya apa adanya, dan mencintainya sebagai balasannya. Cinta yang akhirnya akan terbalas.