Senja merekah di langit Desa Kalimadu, mewarnai sawah yang menghijau dengan semburat jingga dan ungu. Di tengah hamparan itu, seorang gadis bernama Sekar berlari-lari kecil, mengejar kupu-kupu berwarna senja yang terbang rendah. Rambutnya yang hitam legam terurai, menari bersama angin sore.
Sekar bukan mengejar kupu-kupu untuk ditangkap. Ia hanya senang mengamati keindahan makhluk bersayap itu, gerakannya yang anggun, dan warnanya yang memukau. Kupu-kupu itu seolah membawanya menyusuri labirin imajinasi.
Kupu-kupu senja itu hinggap di bunga kamboja putih yang tumbuh di dekat gubuk tua. Sekar mendekat dengan hati-hati, berusaha tidak mengganggu. Di gubuk itu, duduk seorang kakek renta, Ki Ageng, sedang memahat kayu. Ia adalah pembuat wayang legendaris di desa tersebut.
“Mengejar apa, Sekar?” tanya Ki Ageng tanpa menoleh. Suaranya serak namun lembut.
“Kupu-kupu senja, Ki,” jawab Sekar, matanya tak lepas dari serangga cantik itu.
Ki Ageng tersenyum. “Kupu-kupu senja memang indah. Mereka mengingatkan kita bahwa keindahan itu seringkali datang dan pergi dengan cepat. Nikmatilah selagi ada.”
Sekar mengangguk, memahami makna tersirat dari ucapan Ki Ageng. Ia tahu, hidup di desa kecil ini memang sederhana, namun penuh dengan keindahan yang tersembunyi. Keindahan yang sering terlupakan oleh orang-orang yang terlalu sibuk dengan urusan dunia.
Kupu-kupu senja itu terbang lagi, kali ini menuju ke arah sungai yang mengalir di pinggir desa. Sekar mengikutinya, melewati jalan setapak yang dipenuhi bebatuan. Di tepi sungai, ia melihat beberapa anak desa sedang bermain air, tertawa riang.
Sekar tersenyum. Pemandangan itu sangat menenangkan hatinya. Ia merasa beruntung bisa hidup di Desa Kalimadu, dikelilingi oleh alam yang indah dan orang-orang yang hangat.
Kupu-kupu senja itu akhirnya menghilang di balik rimbunnya pepohonan. Sekar berhenti, mengatur napasnya. Ia merasa lelah, namun hatinya penuh dengan kedamaian.
Ia kembali ke gubuk Ki Ageng, duduk di sampingnya dan mengamati sang kakek menyelesaikan pahatannya. Wayang yang ia buat kali ini adalah tokoh Arjuna, seorang pahlawan yang gagah berani dan bijaksana.
“Ki, kenapa Ki Ageng selalu membuat wayang?” tanya Sekar.
“Wayang adalah cerminan kehidupan, Sekar,” jawab Ki Ageng. “Di dalamnya ada kebaikan, keburukan, cinta, benci, dan segala macam emosi manusia. Melalui wayang, kita belajar tentang kehidupan itu sendiri.”
Sekar terdiam, mencoba mencerna kata-kata Ki Ageng. Ia tahu, Kakek Ageng adalah orang yang bijaksana, yang selalu memberikan nasihat yang berharga.
Senja semakin larut, langit berubah menjadi gelap. Sekar berpamitan kepada Ki Ageng dan pulang ke rumahnya. Di sepanjang jalan, ia terus memikirkan kupu-kupu senja, Ki Ageng, dan wayang Arjuna. Ia merasa, hidup di Desa Kalimadu ini adalah sebuah perjalanan yang penuh makna, sama seperti jejak kupu-kupu senja yang ia ikuti tadi sore.