...
HomeKisahJanji Seorang Anak kepada Ibu nya

Janji Seorang Anak kepada Ibu nya

Langkah kaki Bu Aminah terasa berat menyeret di lantai teras. Senja semakin berkilau, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu, namun hatinya terasa kelabu. Di tangannya tergenggam bungkusan plastik berisi sisa makanan dari warung Mak Ijah, sahabatnya yang tak pernah lupa memberikan sedikit lauk.

Dulu, teras rumah ini selalu ramai. Riuh suara tawa anak-anaknya, rebutan televisi jarak jauh, atau sekadar bercerita tentang hari-hari mereka di sekolah. Dulu, Bu Aminah adalah ratunya, pusat perhatian, sumber kasih sayang di rumah ini. Sekarang? Sunyi. Hanya ada suara jangkrik dan angin malam yang berbisik dingin.

Anak-anaknya sudah besar, sukses, dan sibuk. Anak sulungnya, Rian, seorang dokter spesialis di kota sebelah. Anak keduanya, Anita, seorang pengacara yang namanya mulai dikenal di Jakarta. Mereka semua berhasil mewujudkan mimpi yang dulu selalu dilakukan Bu Aminah. Tapi sayangnya, mimpi itu datang dengan harga yang mahal: kesepian.

Rian terakhir kali datang saat lebaran Idul Fitri lalu. Itu pun hanya sebentar, terburu-buru karena harus kembali bertugas. Anita? Lebih parah lagi. Terakhir kali Bu Aminah mendengar suaranya lewat telepon, tiga bulan yang lalu. Alasannya klise: sibuk dengan kasus besar.

Bu Aminah menghela nafas, mencoba menahan air mata yang mendesak keluar. Ia memeluk lututnya, duduk di kursi kayu yang sudah lapuk. Dulu, Rian dan Anita sering berebut duduk di pangkuannya di kursi ini. Sekarang, kursi itu kosong, sepi, seperti jantung.

Aku ingat, betapa besarnya mereka. Bekerja keras sebagai buruh mencuci dari pagi hingga malam, menahan lapar demi menyisihkan uang untuk biaya sekolah. Ia rela berkorban apa saja, asalkan anak-anaknya bisa mencapai pendidikan setinggi mungkin.

Dulu, Rian sering berkata, “Bu, kalau Rian sudah jadi dokter, Rian akan membelikan Ibu rumah yang besar dan mewah.” Anita juga tak kalah manis, “Ibu, nanti kalau Anita jadi pengacara, Ibu tidak perlu kerja lagi. Anita akan menjaga Ibu.”

Janji itu terasa manis di bibir, tapi pahit dalam kenyataan. Rumah mewah dan kehidupan mapan memang berhasil meraih raih mereka, tapi Bu Aminah justru ditinggalkan sendirian di rumah tua ini.

Malam semakin larut. Bu Aminah masuk ke dalam rumah, menyalakan lampu teplok yang remang-remang. Ia menyantap sisa makanan yang diberikan Mak Ijah dengan lahap. Dalam hati, ia berdoa agar anak-anaknya selalu diberi kesehatan dan keselamatan.

Tiba-tiba, telepon berdering. Jantung Bu Aminah berdegup kencang. Dia berharap itu adalah Rian atau Anita. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat gagang telepon.

“Halo, Ibu? Ini Rian.”

Suara Rian terdengar berat di seberang sana. Bu Aminah tersenyum haru. “Rian, anakku. Ibu kangen sekali.”

“Ya, Bu. Maaf, Rian jarang menelpon. Ibu sehat?”

“Ibu sehat, Nak. Kamu sendiri bagaimana? Sibuk?”

Hening sejenak di seberang sana. Kemudian, Rian melanjutkan, “Bu, Rian ingin membicarakan sesuatu yang penting.”

Jantung Bu Aminah berdegup semakin kencang. Firasatnya tidak enak.

“Rian… Rian mau titipkan Ibu di panti jompo.”

Bagai petir menyambar di siang hari bolong, kata-kata Rian menghantam Bu Aminah. Dunia serasa runtuh di sekelilingnya.

“Pa-panti jompo? Kenapa, Nak?” Suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.

“Rian dan Anita sudah bicara, Bu. Kami berdua sibuk sekali. Tidak ada yang bisa menjaga Ibu. Di panti jompo, Ibu akan dilayani dengan baik, ada teman-teman seusia Ibu juga.”

Alasan Rian terdengar dingin dan formal, seperti membaca naskah yang sudah disiapkan.

Bu Aminah menjawab. Air mata akhirnya tumpah membasahi pipinya. Ia tidak menyangka, di usia senjanya, ia akan diabaikan, bahkan ditolak oleh anak-anaknya sendiri.

“Baiklah, Nak,” jawab Bu Aminah lirih, suaranya tercekat. “Kalau itu yang terbaik menurut kalian.”

Ia mematikan telepon. Duduk terisak di kursi kayu yang sudah lapuk. Di tengah kesunyian malam, ia merasakan betapa dinginnya sebuah pengabaian. Sebuah pengabaian yang mengiris hati lebih dalam dari luka apapun.

Malam itu, Bu Aminah tahu, bukan hanya rumah tua ini yang sepi. Tapi juga hatinya, hatinya yang retak karena cinta yang tak terbalas. Ia hanya bisa berharap, suatu hari nanti, anak-anaknya akan mengerti, bahwa kasih seorang ibu adalah abadi, meski terkadang tak terlihat dan tak dihargai. Dan penyesalan, seringkali terlambat, ketika kesempatan untuk memperbaiki sudah tidak ada lagi.

- Advertisement -